Rabu, 12 Desember 2012

Ia Yang Tak Boleh Terlupakan



Mata lelaki itu berkaca-kaca. Ia diam seribu bahasa. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin terucapkan. Beragam rasa pun sedang berkecamuk di dadanya. Bahagia, senang, dan haru, semua bercampur menjadi satu. Tapi entahlah, rangkaian aksara itu tak kuasa menggetarkan pita suaranya. Lalu tak lama, dua sungai kecil mulai menganak di pipinya. Mungkin hanya itulah wujud rangkaian kata yang ada dalam pikirannya. Semua hanya tersampaikan melalui dua sungai kecil itu.

Sekitar satu setengah tahun yang lalu, ia juga dihinggapi perasaan yang sama. Ketika itu si sulunglah yang punya hajatan. Ia pun membeli satu setelan jas yang terbaik dan dikenakan khusus acara itu. Ia tak memakai barang-barang seperti itu dalam keseharian karena ia memang tak pernah punya. Tak pernah. Baginya, kebahagiaan bukan terletak pada simbol-simbol duniawi semata, tapi ketika anak istrinya bahagia. Ia selalu bekerja keras untuk satu alasan ini.

Dan pada satu hari yang akan selalu dikenangnya itu, semua lelah dan penat yang dirasakannya menguap begitu saja ketika menyaksikan si sulung tersenyum manis berbalutkan toga kebesaran almamaternya.
Hari ini, ia kembali memakai setelan jas itu, yang tak pernah dipakai lagi sejak satu setengah tahun lalu. Namun sekarang, si bungsulah yang punya hajatan. Bahagia? Pasti. Jika ada kata-kata lain yang pantas mengungkapkan perasaannya, maka kata-kata itu pun akan ditambahkannya untuk menyempurnakan rasa bahagia ini. Betapa tidak, kedua anaknya sanggup menjadi sarjana jebolan kampus jajaran reputable university di tanah air. Ia dan istrinya tidak mengharapkan hasil yang seperti ini. Berkat izin Allah, mereka berhasil. Maka lelaki itupun menilai, apa yang diperolehnya sekarang ini adalah suatu pencapaian yang besar. Dan ia berkali-kali mengatakan kepada kedua anaknya supaya selalu merasa bersyukur pada Allah atas semua anugerahNya dan rasa bahagia yang tak terkira ini.

Ia memang selalu menjadi ayah yang baik. Selalu memastikan anak-anaknya tidak kekurangan apapun. Selalu memberikan yang terbaik yang mampu dilakukannya. Dan tak akan pernah dibiarkannya mereka bersusah hati.
Ketika kedua anaknya masih kanak-kanak, lelaki itu pernah mengajak mereka jalan-jalan sore ke tepi pantai. Di sana, mereka melihat rumah yang sangat indah. Lantas si sulung pun berkata, “Rumah itu bagus sekali, papa”.
“Iya bagus sekali. Apa kalian senang punya rumah seperti itu?,” kata lelaki itu.
“Senang sekali,” si bungsu menambahkan.
“Baiklah. Kita akan punya rumah seperti itu, Insya Allah,” lelaki itu mengukir janji.
Saat ini, rumah yang diinginkan buah hatinya sudah berdiri megah. Lelaki itu sudah berusaha keras untuk semua ini. Bersama sang istri yang sangat cakap mengatur keuangan dari penghasilannya akhirnya mampu mewujudkan itu. Beberapa bagian rumah tersebut malah lahir dari gerakan jemarinya.
Sebenarnya, dulu ia bisa saja menganggap janji itu tak pernah ada. Toh, itu Cuma janji ke bocah kecil yang belum mengerti apapun dan perhatiannya bisa dengan mudah dialihkan ke mainan baru. Tapi baginya, janji adalah sesuatu yang wajib dipenuhi dan diusahakan selama Allah masih memberi jalan ke arah itu. Maka pantaslah jika dimata anak-anaknya, ia adalah sosok lelaki terbaik yang pernah mereka temui.

*****

Pada suatu hari, seseorang datang kepada Rasulullah SAW, kemudian ia bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?” Beliau menjawab, “Ibumu.”  Tanyanya lagi, “Kemudian siapa?”. Beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?”. Beliau menjawab, “Ibumu.” Kemudian ia pun bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu.”

Dalam hadits muttafaqun ‘alaihi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah tersebut, ibu mendapatkan prioritas utama untuk memperoleh perlakuan baik dari anak-anaknya. Ibu, adalah seseorang yang memberikan pengorbanan paling besar untuk mulainya kehidupan seorang anak manusia. Ibu mengandung anaknya dalam keadaan yang serba lemah, kemudian menyapihnya setelah dua tahun, begitu firman Allah. Karenanya sangat benar, surga itu di bawah telapak kaki ibu.

Ayah, mendapat prioritas keempat setelah peringkat pertama, kedua, ketiga ditempati oleh ibu. Namun, ini tidaklah berarti bahwa berbakti kepada ayah merupakan hal yang pantas dikesampingkan dan boleh dilaksanakan secukupnya saja. Birrul walidain, berbakti kepada kedua orang tua, adalah konsep yang ditawarkan oleh Islam untuk menghargai peran kedua orang tua. Karena hadirnya seorang anak manusia bermula dari ibu dan ayahnya. Karena baik buruknya tingkah laku seorang anak tergantung pada ibu dan ayahnya. Dan karena ridha Allah pada seseorang terletak pada ridha ibu dan bapaknya.

Maka Allah memerintahkan umat manusia, “...dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu dan bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan  ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al Isra [17]:23)

Kemudian pada salah satu kalamNya yang lain, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula)...” (QS. Al Ahqaaf [46]:15)

Dan doa yang diucapkan seorang anak tidak hanya untuk ibunya, tapi juga bagi sang ayah, “Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Sayangilah mereka sebagaimana menyayangiku sejak kecil.”
Jika ibu adalah simbol ketentraman, maka ayah adalah simbol keamanan. Sebab dihadapan Allah, ia adalah orang yang akan mempertanggung jawabkan keluarganya. Dan sebab ia harus menjauhkan mereka dari siksaan api neraka. Ini tentu saja bukanlah tugas yang mudah.

Memang, pengorbanan ibu jauh lebih besar. Tapi pengorbanan ayah bukanlah hal yang pantas disepelekan. Kisah-kisah tentang ayah yang tidak bertanggung jawab lantas tidak bisa dijadikan parameter umum tentang besarnya cinta ayah kepada anak-anaknya. Al Qur’an mempunyai berbagai cerita tentang ayah-ayah yang hebat dan sayang pada buah hatinya. Ada Luqman Al Hakim, yang wasiat-wasiatnya diabadikan dalam satu surat. Ada Ibrahim, bapaknya para nabi, yang berdoa agar keturunannya kelak menjadi orang-orang yang beriman. Serta ada pula Nuh dan Luth, yang harus sendirian mempertahankan keimanan anak-anaknya karena ibu mereka telah ingkar pada Allah.

Rasulullah, juga seorang figur ayah teladan. Pada saat lingkungan sekitarnya tidak menghargai anak perempuan, Allah justru mentakdirkannya hanya anak perempuannya yang hidup sampai dewasa. Dan ia sangat memuliakan mereka, terlebih si bungsu Az Zahra. Berkata Aisyah, “Tidak pernah aku melihat seorang pun yang lebih mirip pembicaraannya dengan Rasulullah dibanding Fathimah. Jika ia masuk ke tempat Rasulullah, Rasulullah memegang tangannya, menciumnya dan mendudukkannya di tempat beliau. Jika Rasulullah masuk ke tempatnya, ia bangun lalu mencium Rasulullah, memegang tangan beliau dan mendudukkan beliau di tempatnya.”

Putri Syadiyah binti Sultan Abdul Hamid II, pun merasakan kedekatan yang teramat indah dengan sang ayah dalam masa pembuangan di Salonika pada detik-detik keruntuhan Daulah Utsmaniyah di Turki. Dalam “Manis dan Pahitnya Hidupku”, autobiografinya, sang putri menulis, “Aku ingin menemani ayah dan aku tidak menginginkan sesuatu kecuali tinggal di sampingnya sampai akhir hayatku. Karena khawatir ayahku diliputi kesedihan, maka aku mengusahakan untuk menghiburnya, dan ayahku berkata, “Wahai putriku, engkau jangan memikirkan tentang kondisi ayah yang engkau kira terus menerus merasa sedih. Sebetulnya ayah tidak apa-apa! Siapakah yang akan kekal di dunia ini?. Maka pada saat itu aku tahu, betapa ayahku seorang yang luar biasa kokoh pendiriannya dan sabar”.

Dan di mata Gemala Hatta, sang ayah adalah tokoh idola. Ia adalah kepala keluarga yang mengayomi dengan bijak. Ayahnya mendidik dengan memberikan contoh nyata, bukan dengan banyak berkata-kata. Hatta memang sangat perhatian, sampai kepada hal-hal yang kecil sekalipun. Kesibukannya sebagai pembesar negeri tidak membuatnya lupa akan tugasnya sebagai seorang ayah. Menurutnya, tanggung jawab terhadap anak bukanlah terbatas pada pemenuhan materi semata, tapi juga kondisi mental dan spiritual mereka.

Subhanallah...


Ayah, memang tidak akan mampu memberikan pengorbanan seperti yang diberikan ibu. Dan ia tak akan sanggup menyaingi semua yang dilakukan ibu. Tapi ia memberikan cintanya dengan caranya sendiri sesuai dengan kodratnya sebagai seorang laki-laki dan kapasitasnya sebagai seorang ayah. Sekali lagi, ini tidak boleh dianggap enteng dan dipandang sebelah mata karena Islam sesungguhnya telah mengajarkan birrul walidain, memuliakan ibu tanpa sedikitpun melupakan ayah.

For my dearest papa, yang jasanya tak akan mampu kubayar lunas. Jazakallahu bi ahsanal jaza’....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar