Mata lelaki itu berkaca-kaca.
Ia diam seribu bahasa. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin terucapkan. Beragam
rasa pun sedang berkecamuk di dadanya. Bahagia, senang, dan haru, semua
bercampur menjadi satu. Tapi entahlah, rangkaian aksara itu tak kuasa
menggetarkan pita suaranya. Lalu tak lama, dua sungai kecil mulai menganak di
pipinya. Mungkin hanya itulah wujud rangkaian kata yang ada dalam pikirannya.
Semua hanya tersampaikan melalui dua sungai kecil itu.
Sekitar satu setengah tahun
yang lalu, ia juga dihinggapi perasaan yang sama. Ketika itu si sulunglah yang
punya hajatan. Ia pun membeli satu setelan jas yang terbaik dan dikenakan
khusus acara itu. Ia tak memakai barang-barang seperti itu dalam keseharian
karena ia memang tak pernah punya. Tak pernah. Baginya, kebahagiaan bukan
terletak pada simbol-simbol duniawi semata, tapi ketika anak istrinya bahagia.
Ia selalu bekerja keras untuk satu alasan ini.
Dan pada satu hari yang akan
selalu dikenangnya itu, semua lelah dan penat yang dirasakannya menguap begitu
saja ketika menyaksikan si sulung tersenyum manis berbalutkan toga kebesaran
almamaternya.
Hari ini, ia kembali memakai
setelan jas itu, yang tak pernah dipakai lagi sejak satu setengah tahun lalu.
Namun sekarang, si bungsulah yang punya hajatan. Bahagia? Pasti. Jika ada
kata-kata lain yang pantas mengungkapkan perasaannya, maka kata-kata itu pun
akan ditambahkannya untuk menyempurnakan rasa bahagia ini. Betapa tidak, kedua
anaknya sanggup menjadi sarjana jebolan kampus jajaran reputable university di tanah air. Ia dan istrinya tidak
mengharapkan hasil yang seperti ini. Berkat izin Allah, mereka berhasil. Maka
lelaki itupun menilai, apa yang diperolehnya sekarang ini adalah suatu
pencapaian yang besar. Dan ia berkali-kali mengatakan kepada kedua anaknya
supaya selalu merasa bersyukur pada Allah atas semua anugerahNya dan rasa
bahagia yang tak terkira ini.
Ia memang selalu menjadi ayah
yang baik. Selalu memastikan anak-anaknya tidak kekurangan apapun. Selalu
memberikan yang terbaik yang mampu dilakukannya. Dan tak akan pernah
dibiarkannya mereka bersusah hati.
Ketika kedua anaknya masih
kanak-kanak, lelaki itu pernah mengajak mereka jalan-jalan sore ke tepi pantai.
Di sana, mereka melihat rumah yang sangat indah. Lantas si sulung pun berkata,
“Rumah itu bagus sekali, papa”.
“Iya bagus sekali. Apa kalian
senang punya rumah seperti itu?,” kata lelaki itu.
“Senang sekali,” si bungsu
menambahkan.
“Baiklah. Kita akan punya rumah
seperti itu, Insya Allah,” lelaki itu mengukir janji.
Saat ini, rumah yang diinginkan
buah hatinya sudah berdiri megah. Lelaki itu sudah berusaha keras untuk semua
ini. Bersama sang istri yang sangat cakap mengatur keuangan dari penghasilannya
akhirnya mampu mewujudkan itu. Beberapa bagian rumah tersebut malah lahir dari
gerakan jemarinya.
Sebenarnya, dulu ia bisa saja
menganggap janji itu tak pernah ada. Toh, itu Cuma janji ke bocah kecil yang
belum mengerti apapun dan perhatiannya bisa dengan mudah dialihkan ke mainan
baru. Tapi baginya, janji adalah sesuatu yang wajib dipenuhi dan diusahakan
selama Allah masih memberi jalan ke arah itu. Maka pantaslah jika dimata
anak-anaknya, ia adalah sosok lelaki terbaik yang pernah mereka temui.
*****
Pada suatu hari, seseorang
datang kepada Rasulullah SAW, kemudian ia bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah
orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?” Beliau menjawab,
“Ibumu.” Tanyanya lagi, “Kemudian
siapa?”. Beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?”. Beliau
menjawab, “Ibumu.” Kemudian ia pun bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau
menjawab, “Ayahmu.”
Dalam hadits muttafaqun ‘alaihi yang diriwayatkan
dari Abu Hurairah tersebut, ibu mendapatkan prioritas utama untuk memperoleh
perlakuan baik dari anak-anaknya. Ibu, adalah seseorang yang memberikan
pengorbanan paling besar untuk mulainya kehidupan seorang anak manusia. Ibu
mengandung anaknya dalam keadaan yang serba lemah, kemudian menyapihnya setelah
dua tahun, begitu firman Allah. Karenanya sangat benar, surga itu di bawah
telapak kaki ibu.
Ayah, mendapat prioritas
keempat setelah peringkat pertama, kedua, ketiga ditempati oleh ibu. Namun, ini
tidaklah berarti bahwa berbakti kepada ayah merupakan hal yang pantas
dikesampingkan dan boleh dilaksanakan secukupnya saja. Birrul walidain, berbakti kepada kedua orang tua, adalah konsep
yang ditawarkan oleh Islam untuk menghargai peran kedua orang tua. Karena
hadirnya seorang anak manusia bermula dari ibu dan ayahnya. Karena baik
buruknya tingkah laku seorang anak tergantung pada ibu dan ayahnya. Dan karena
ridha Allah pada seseorang terletak pada ridha ibu dan bapaknya.
Maka Allah memerintahkan umat
manusia, “...dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu dan bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.” (QS. Al Isra [17]:23)
Kemudian pada salah satu
kalamNya yang lain, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada
dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula)...” (QS. Al Ahqaaf [46]:15)
Dan doa yang diucapkan seorang
anak tidak hanya untuk ibunya, tapi juga bagi sang ayah, “Ya Allah, ampunilah
dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Sayangilah mereka sebagaimana menyayangiku
sejak kecil.”
Jika ibu adalah simbol
ketentraman, maka ayah adalah simbol keamanan. Sebab dihadapan Allah, ia adalah
orang yang akan mempertanggung jawabkan keluarganya. Dan sebab ia harus
menjauhkan mereka dari siksaan api neraka. Ini tentu saja bukanlah tugas yang
mudah.
Memang, pengorbanan ibu jauh
lebih besar. Tapi pengorbanan ayah bukanlah hal yang pantas disepelekan.
Kisah-kisah tentang ayah yang tidak bertanggung jawab lantas tidak bisa
dijadikan parameter umum tentang besarnya cinta ayah kepada anak-anaknya. Al
Qur’an mempunyai berbagai cerita tentang ayah-ayah yang hebat dan sayang pada
buah hatinya. Ada Luqman Al Hakim, yang wasiat-wasiatnya diabadikan dalam satu
surat. Ada Ibrahim, bapaknya para nabi, yang berdoa agar keturunannya kelak
menjadi orang-orang yang beriman. Serta ada pula Nuh dan Luth, yang harus
sendirian mempertahankan keimanan anak-anaknya karena ibu mereka telah ingkar
pada Allah.
Rasulullah, juga seorang figur
ayah teladan. Pada saat lingkungan sekitarnya tidak menghargai anak perempuan,
Allah justru mentakdirkannya hanya anak perempuannya yang hidup sampai dewasa.
Dan ia sangat memuliakan mereka, terlebih si bungsu Az Zahra. Berkata Aisyah,
“Tidak pernah aku melihat seorang pun yang lebih mirip pembicaraannya dengan
Rasulullah dibanding Fathimah. Jika ia masuk ke tempat Rasulullah, Rasulullah
memegang tangannya, menciumnya dan mendudukkannya di tempat beliau. Jika
Rasulullah masuk ke tempatnya, ia bangun lalu mencium Rasulullah, memegang
tangan beliau dan mendudukkan beliau di tempatnya.”
Putri Syadiyah binti Sultan
Abdul Hamid II, pun merasakan kedekatan yang teramat indah dengan sang ayah dalam
masa pembuangan di Salonika pada detik-detik keruntuhan Daulah Utsmaniyah di
Turki. Dalam “Manis dan Pahitnya Hidupku”, autobiografinya, sang putri menulis,
“Aku ingin menemani ayah dan aku tidak menginginkan sesuatu kecuali tinggal di
sampingnya sampai akhir hayatku. Karena khawatir ayahku diliputi kesedihan,
maka aku mengusahakan untuk menghiburnya, dan ayahku berkata, “Wahai putriku,
engkau jangan memikirkan tentang kondisi ayah yang engkau kira terus menerus
merasa sedih. Sebetulnya ayah tidak apa-apa! Siapakah yang akan kekal di dunia
ini?. Maka pada saat itu aku tahu, betapa ayahku seorang yang luar biasa kokoh
pendiriannya dan sabar”.
Dan di mata Gemala Hatta, sang
ayah adalah tokoh idola. Ia adalah kepala keluarga yang mengayomi dengan bijak.
Ayahnya mendidik dengan memberikan contoh nyata, bukan dengan banyak
berkata-kata. Hatta memang sangat perhatian, sampai kepada hal-hal yang kecil
sekalipun. Kesibukannya sebagai pembesar negeri tidak membuatnya lupa akan
tugasnya sebagai seorang ayah. Menurutnya, tanggung jawab terhadap anak
bukanlah terbatas pada pemenuhan materi semata, tapi juga kondisi mental dan
spiritual mereka.
Subhanallah...
Ayah, memang tidak akan mampu memberikan
pengorbanan seperti yang diberikan ibu. Dan ia tak akan sanggup menyaingi semua
yang dilakukan ibu. Tapi ia memberikan cintanya dengan caranya sendiri sesuai
dengan kodratnya sebagai seorang laki-laki dan kapasitasnya sebagai seorang
ayah. Sekali lagi, ini tidak boleh dianggap enteng dan dipandang sebelah mata
karena Islam sesungguhnya telah mengajarkan birrul walidain, memuliakan ibu
tanpa sedikitpun melupakan ayah.
For
my dearest papa, yang jasanya tak akan mampu kubayar lunas. Jazakallahu bi
ahsanal jaza’....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar